Candi Gedong Songo, Peninggalan Syailendra
Dikenal sebagai peninggalan Syailendra, dibangun pada abad ke 9, candi yang bergaya Hindu ini cukup unik, terletak di puncak puncak bukit, atau di ketinggian, di lereng gunung Ungaran dan terbagi pada beberapa kelompok Candi. Sungguh cukup melelahkan untuk mencapainya, karena kita harus mendaki dan menuruni bukit, untungnya udara di sini sangat sejuk, sehingga keringat cepat mengering
Berada pada ketinggian sekitar 1200 meter diatas permukaan laut, komplek Candi ini nampaknya masih terus dibenahi, ketika kami tiba diparkiran, lokasi parkir masih dipenuhi dengan berbagai bahan bangunan, gapuranya pun jelas terlihat sebagai bangunan yang dibuat di jaman modern dengan arsitektur kuno.
Sementara hampir diseluruh kompleks terlihat tanda tanda aktifitas perbaikan atau pemugaran, ini sangat menggembirakan, semoga Komplek Candi Gedong Songo akan semakin berkibar menjadi daerah tujuan wisata sejarah, sehingga bermanfaat bagi pembelajaran sejarah gemilangnya nenek moyang serta mampu menghadirkan wisatawan mancanegara ke Indonesia, apalagi lokasinya relative tidak terlalu jauh dengan Candi Borobudur dan Candi Prambanan yang sudah dikenal Dunia
Konon kompek candi ini pertama kali ditemukan di Jaman Rafless tahun 1800 an, dan berturut turut diteliti dan dipugar dijaman pemerintahan Hindia Belanda hingga sekitar tahun 1930 an. Rafless dulu menamainya Candi Pitoe, kini disebut sebagai Candi Gedong Songo, tetapi kami hanya menjumpai 5 komplek Candi saja??
Tarif untuk memasuki komplek Candi ini hanya 5 ribu rupiah saja per orang, sedangkan untuk mendatangi satu persatu komplek Candi ini bisa dilakukan dengan berjalan kaki, atau menyewa kuda, dengan tarif 50 ribu rupiah untuk satu kuda dengan satu penumpangSetiap kuda akan dituntun oleh pemiliknya, sekaligus sang pemilik akan berfungsi sebagai guide. Sambil menuntun kuda sang pemilik akan menceritakan atau menjelaskan detail candi, atau hal hal seputar Candi atau dia akan menjawab pertanyaan anda.
Saya memutuskun untuk berjalan kaki dengan maksud agar lebih leluasa untuk mengambil foto, sementara 4 anggota keluarga yang lain menyewa kuda. Sejujurnya saya tidak mampu mengimbangi kecepatan kuda dan penuntunnya, meskipun sedikit memaksa hingga nafas tersengal tetapi karena tidak mau ketinggalan momen, maka saya memaksakan diri dan berpesan agar tidak berpisah dan menunggu saya kalo sudah sampai dilokasi candi-candi tersebut.
Selain komplek Candi, terdapat juga sumber air panas belerang, terletak diantara Candi Gedong 3 dan Candi Gedong 4. asap tebal mengepul keluar dari celah celah batu dengan suara mendesis seperti layaknya suara desis yang keluar dari teko atau ceret pemasak air kalau airnya sudah mendidih, sementara air panas yang keluar dari sini dialirkan ke sebuah kolam permanent yang memang dirancang sebagai kolam permandian air panas, konon berendam air panas dari sumber belerang diyakini dapat menyembuhkan berbagai penyakit
Disebuah lereng dekat komplek Candi Gedong 2, sedang dibangun pondok pondok dengan arsitektur kayu untuk penginapan, dengan lanscape yang ideal dan berlokasi disela sela pohon pinus, serta menghadap kelembah, kombinasi yang sempurna, sangat cocok bagi para pencari kedamaian alam, membuang stress.., bisa dibayangkan betapa nikmatnya bersantai dipondok menatap langsung ke candi candi dan lembah serta bukit bukit di hadapannya, pada suasana yang tenang dan udara yang sejuk...
Kami memulai perjalanan dari arah terbalik, menuju ke Gedong 5 dulu, baru berturut turut turun sampai ke Gedong I, ini sepenuhnya kehendak si pemilik kuda. Tetapi ada untungnya, karena setelah Gedong 5, selanjutnya perjalanannya lebih banyak menurun sehingga tidak terlalu melelahkan. Jalur menuju candi candi itu relative baik, sebagian terbuat dari semen, sebagian lagi terbuat dari paving stone atau batu pasangan dengan kondisi yang bersih dan terawat, semoga demikian selamanya agar pengunjung merasa nyaman.
Secara umum pengelolaan komplek wisata Candi Gedong Songo ini cukup baik, begitu memasuki gerbang kita akan disambut oleh belasan orang yang berseragam, mereka rupanya para pemilik kuda yang menawarkan jasa penyewaan kuda, mereka ramah, tidak memaksa sehingga kami nyaman meladeninya, tarif sudah ditetapkan 50.000 rupiah untuk berkeliling ke seluruh Candi, kuda kuda mereka ditambatkan di kandang permanent sehingga nampak rapi dan tertib, sebelum melintasi jalur pendakian menuju komplek Candi, terdapat dua buah papan petunjuk atau semacam peta untuk memandu atau memberi gambaran kepada pengunjung satu dalam bahasa Indonesia satu lagi dalam bahasa Inggris.Fasilitas parkir juga memadai dan bahkan saat ini dalam proses penambahan areal lahan parkir, jalan menuju ke komplek Candi Gedong Songo dari arah kota Semarang cukup baik, nyaris tidak ada aspal yang rusak, berjarak sekitar 45 km dari kota Semarang melewati Ambarawa atau langsung menuju Bandungan, jika anda dari luar kota bisa memilih menginap di Semarang atau di Bandungan, di sini banyak tersedia wisma atau tempat penginapan dengan tarif yang relative lebih murah dibanding tarif hotel di Semarang.
Selain candi Gedong Songo, kita bisa mengunjungi Meseum Kereta Api di Ambarawa, kurang lebih 30 menit perjalanan dengan menggunakan mobil. Di Kota Semarang kita bisa mengunjungi Lawang Sewu, sebuah bangunan peninggalan belanda yang terletak persis di simpang tugu, lalu bisa dilanjutkan mengunjungi kuil Sam Phoo Kong, sebuah kuil yang diasosiakan dengan Laksamana Cheng Ho yang terkenal itu, lalu bisa pula dilanjutkan mengunjungi Masjid Agung Jawa Tengah, konon Masjid ini adalah yang termegah di Jawa Tengah.
Catatan dari papan petunjuk:
Detail sejarah,
Terletak di lereng Gunung Ungaran pada koordinat 110°20?32.88” bujur timur dan 7°12’39.72” lintang selatan di Desa Darum, Kelurahan Candi, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang, Propinsi Jawa Tengah, Gedong Songo berasal dari bahasa Jawa Gedong (rumah/bangunan), dan Songo (sembilan), dan berarti sembilan (kelompok) bangunan. Apakah ini berarti bahwa di komplek tersebut sejak awal terdiri dari sembilan kelompok, atau memiliki arti lain belum dapat dijawab. Tetapi pada saat ini hanya terdapat lima kelompok bangunan.
Komplek candi ini dibangun berderet dari bawah hingga puncak perbukitan. Hal ini menunjukkan karakter yang sangat spesifik yaitu perpaduan antara dua religi yang bersifat lokal (kepercayaan terhadap roh nenek moyang) dan global Hindu (Gunung sebagai tempat tinggal para Dewa). Kedua religi tersebut mampu berdiri setara di Gedongsongo, ditunjukkan dengan pemberian arti baru yaitu tempat / persembahan roh nenek moyang yang telah menjadi Dewa dan ritus itu dilakukan dalam candi.
Arca-arca Dewa di komplek candi Hindu yang dibangun sekitar abad VIII ini sudah tidak lengkap lagi. Arca arca yang dapat dijumpai adalah Durga (istri Siwa), Ganesha (anak Siwa). Dan Agastya (seorang resi yang memiliki kemampuan spiritual setara dengan Dewa). Serta pengawal Dewa Siwa yaitu Nandiswara dan Mahakala yang bertugas sebagai penjaga pintu candi Hindu.
Riwayat penelitian dan pemugaran,
Loten tahun 1740 menemukan komplek candi Gedongsongo. Tahun 1804 Rafles mencatat kompleks tersebut dengan nama Gedong Pitoe karena hanya ditemukan tujuh kelompok bangunan. Van Braam membuat publikasi pada tahun 1925. Friederich dan Hoopermans menulis tentang Gedongsongo tahun 1865. tahun 1908 Van Stein Callenfels melakukan penelitian dan knebel melakukan inventarisasi temuan pada tahun 1910-1911.
Penelitian oleh Dinas Purbakala Belanda dilakukan pada tahun 1916. kemudian dilanjutkan dengan pemugaran Candi Gedong 1 tahun 1928/1929 dan Candi Gedong II tahun 1930/1931. Sedangkan pada masa pemerintahan RI dilakukan pemugaran Candi Gedong III, IV dan V oleh SPSP (sekarang Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala) Jawa Tengah pada tahun 1977-1983. Tahun 2009 dilakukan pemugaran Candi Perwara C1 dan konsolidasi terhadap Candi Perwara C2 di Gedong IV serta pemetaan ulang.
Nama : M Saykhun
kelas : XI IPS A
No : 28
Sumber : http://www.khatulistiwa.info/2012/10/candi-gedong-songo-peninggalan.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar